Cerita Maman Suherman Naik Haji dan Ditepuk Ayahnya yang Sudah Meninggal
- account_circle Muhammad Fadli
- calendar_month Sen, 13 Okt 2025
- visibility 35

Maman Suherman
JAKARTA – Seleb dan komedian, Maman Suherman, punya kisah spiritual yang tak akan pernah dia lupakan, saat dia berangkat menunaikan Ibadah Haji. Maman, yang dikenal luas sebagai Mamang Minta Duit dalam tayangan Indonesia Lawak Klub, mengaku pernah bertemu kembali dengan ayahnya yang telah meninggal saat beribadah di Arafah.
Lewat tayangan video kompas TV, Maman menceritakan hidupnya yang tumbuh di keluarga sederhana di Makassar. Ayahnya, seorang sersan tentara, tidak mampu membelikan televisi untuk anak-anaknya.
Setiap sore, Maman kecil rela berdiri berjam-jam di depan rumah orang kaya hanya untuk menonton siaran TV dari jendela. Sering kehujanan, dan digigit nyauk. Hingga suatu malam, aktivitas itu membuatnya jatuh sakit.
Bahkan, sakit itu berujung membuat dia mati suri. Dinyatakan meninggal, lalu hidup lagi.
“Saya waktu itu kelas 3 SD. Setiap pulang sekolah baru makan dan salat zuhur, kan televisi tuh jam 5 jam 6 (mulai aktif siaran sore) TVRI.
Waktu itu karena hujan, saya kena tipes berat sampai dinyatakan meninggal. Sudah dibawa ke kamar mayat,” kenangnya.
Saat itu, cerita Maman, ayahnya sangat menyesali ketidakmampuannya membelikan televisi untuk anaknya. Ayahnya lalu bilang, andaikan anaknya itu hidup, dia akan berjuang untuk membelikan televisi.
“Setelah itu, tiba-tiba saya bangun,” ceritanya.
Beberapa bulan kemudian, sang ayah akhirnya membelikan televisi itu, dengan cara mencicil hingga tiga tahun. Sayangnya, belum lama setelah lunas, sang ayah wafat.
“Baru setelah beliau meninggal saya tahu, televisi itu dibeli dengan uang pinjaman rentenir,” ucap Maman.
Dia kemudian membagikan pesan sang ayah sebelum wafat. “Pesannya, Jangan Balas Dendam, Jadi Orang Ya, Man.
“Kalau Bapak meninggal, jangan mewahkan makam Bapakmu. Tapi mewahkan hatimu dan ibumu. Dan tunaikan cita-cita Bapakmu. Terperangah di Mekkah. Haji…” cerita Maman mengungkap pesan ayahnya.
Wasiat itu kemudian melekat sepanjang hidup Maman. Termasuk ketika ia memutuskan menulis untuk bertahan hidup di Jakarta saat kuliah di UI. Dari tulisan-tulisan itulah jalan rezekinya terbuka dan mengantarkannya hingga ke Tanah Suci.
Rezeki Tak Terduga dari Kantor untuk Naik Haji
Tahun 1991, Maman yang saat itu menjadi salah satu pimpinan media di kelompok Kompas Gramedia mendapat pertanyaan dari pendirinya, Jakob Oetama:
“Apa yang kamu inginkan, anak muda?”
Sebelum sempat menjawab, seorang kolega bercanda, “Orang Makassar mah, pasti cita-citanya naik haji.”
Tanpa disangka, Pak Jakob langsung berkata,
“Ya sudah, kamu berangkat haji. Kantor yang biayai.”
Maman pun berangkat berhaji atas biaya dinas, sekaligus ditugaskan meliput kegiatan haji. Ia tak pernah menyangka, impian masa kecil yang dulu hanya ia lihat di pelabuhan -mengantar para jemaah yang disambut bak raja, akhirnya jadi nyata.
Perjumpaan dengan Ayah di Padang Arafah
Puncak perjalanan itu terjadi di Arafah, tempat jutaan jemaah menumpahkan doa.
Maman, yang saat itu tengah mengaji di tenda, tiba-tiba teringat pesan Gus Dur, salah satu pembimbing hajinya:
“Kalau kamu tak percaya pada kekuatan doa, ya jangan berdoa di sana. Gitu aja kok repot.”
Ia pun memejamkan mata dan berdoa dari lubuk hatinya:
“Ya Allah, saya rindu Bapak saya. Mungkinkah Engkau pertemukan saya dengan beliau, entah lewat mimpi atau cara apa pun?”
Tak lama kemudian, seseorang bersorban putih datang menghampiri, menepuk kepalanya, dan berkata pelan:
“Nak, terima kasih kamu sudah mendoakan.”
Maman terperanjat. Wajah itu… wajah ayahnya.
Ia langsung jatuh pingsan.
Ketika sadar, orang-orang di sekitarnya kebingungan. Namun bagi Maman, ia tahu, doanya dijawab. Rindunya terbalas.
Hadiah untuk Ayah: ‘Haji Abu Bakar’
Setelah kembali ke Tanah Air, Maman menceritakan pengalamannya kepada Gus Dur.
Dengan senyum khasnya, Presiden keempat itu hanya berkata ringan:
“Tahun depan, hajikan bapakmu.”
Dan benar, setahun kemudian, berkat kebaikan yang sama dari kantornya, Maman kembali ke Tanah Suci untuk ‘membadalhajikan’ ayahnya, Abu Bakar, atas nama cinta seorang anak kepada orang tuanya.
Kini, puluhan tahun kemudian, Maman Suherman tetap merasa ayah dan ibunya belum pernah benar-benar pergi.
“Saya masih sering berdialog dengan mereka, lewat doa, lewat kenangan, lewat tulisan,” ujarnya.
Dari 60 buku yang ia tulis, 40 di antaranya terinspirasi oleh kisah hidup ayah dan ibunya.
Royalti dari buku-buku itulah yang kini membiayai pendidikan ketiga anaknya -di dalam dan luar negeri. Sebuah lingkaran kasih yang tak pernah putus.
“Kalau kata Rumi,” ujarnya lembut,
“Kematian hanya dirasakan oleh mereka yang melihat sesuatu hanya dari jasadnya. Padahal, tidak ada perpisahan bila kita terus menghidupkannya dalam doa.”
- Penulis: Muhammad Fadli
- Editor: Fitriani Heli