Bisa Merugikan Jemaah, Asosiasi Travel Tolak Pembatasan Kuota Maksimal 8 Persen dalam RUU Haji Umrah
- account_circle REDAKSI
- calendar_month Kam, 14 Agu 2025
- visibility 229

Jemaah melaksanakan tawaf di Masjidilharam.(tazkiyahtour.co.id)
JAKARTA – Belasan asosiasi penyelenggara perjalanan haji dan umrah tegas menolak ketentuan pembatasan kuota haji khusus maksimal 8 persen yang tercantum dalam draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Haji dan Umrah.
Para pelaku biro perjalanan umrah dan haji yang tergabung dalam 13 asosiasi, menganggap aturan kuota itu berpotensi merugikan jemaah dan mengganggu penjadwalan pemberangkatan, khususnya bagi yang telah menunggu bertahun-tahun.
Ketua Umum Himpunan Penyelenggara Umrah dan Haji Khusus (HIMPUH) sekaligus juru bicara Tim 13 Asosiasi, Muhammad Firman Taufik, menegaskan bahwa frasa ‘maksimal’ pada batas kuota ini bisa berarti apa saja, bahkan di bawah 8 persen.
“Bisa dibayangkan, kalau frasa maksimal itu masuk di UU, haji khusus bisa saja hanya mendapat 7 persen, 1 persen, bahkan nol persen. Ini menciptakan ketidakpastian, apalagi saat ini ada 144.771 jemaah yang mengantre untuk haji khusus per 12 Agustus 2025,” ujar Firman dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu 13 Agustus 2025.
Firman menambahkan, pembatasan ini bukan hanya berdampak pada asosiasi, tetapi juga ekosistem ekonomi yang terkait, mulai dari UMKM hingga sektor jasa yang menopang penyelenggaraan haji khusus.
“Di belakang kami ada UMKM dan berbagai pihak lain yang ikut terlibat. Kalau frasa maksimal 8 persen diberlakukan, kepastian keberangkatan jemaah hilang. Orang yang sekarang sudah menghitung, misalnya enam atau tujuh tahun lagi berangkat, bisa kehilangan patokan,” jelasnya.
Menurutnya, praktik di negara-negara muslim lain justru memberi porsi besar kepada swasta dalam mengelola haji: Turki ±40 persen, Mesir ±65 persen, India dan Pakistan ±50 persen, Bangladesh bahkan mencapai ±93 persen.
“Mereka berhasil meningkatkan kualitas layanan, menggerakkan ekonomi umat, dan memastikan kuota terserap optimal,” tegas Firman.
Tim 13 Asosiasi mengusulkan agar ketentuan “maksimal 8 persen” diubah menjadi “minimal 8 persen” untuk menjaga hak jemaah sekaligus membantu pemerintah.
“Selama ini haji khusus jadi solusi bagi jemaah lansia, sakit, atau yang terbatas waktu, serta mampu menyerap kuota tambahan yang sering tidak terserap pemerintah. Kalau minimal 8 persen, pemerintah juga bisa mengurangi beban subsidi haji reguler,” pungkasnya.
Sebelumnya, Ketua Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (AMPHURI) Wilayah Sulawesi, Maluku, dan Papua (Sulampua), Azhar Gazali, mengungkapkan, swasta terbukti memiliki rekam jejak yang lebih tertib dan minim kesalahan dalam melayani jemaah haji khusus (PIHK).
Sehingga, menurut dia, penyelenggara haji swasta seharusnya diberi ruang lebih besar dalam ekosistem penyelenggaraan haji nasional.
“Haji yang ditangani oleh PIHK berjalan lebih teratur dan minim masalah. Kami berharap porsi kuota untuk haji khusus tidak dibatasi hanya 8 persen. Ke depan, keterlibatan swasta seharusnya ditingkatkan agar pelayanan kepada jemaah bisa lebih optimal lagi,” ujar Azhar, saat dihubungi hamranews.id, Sabtu 2 Agustus 2025.
- Penulis: REDAKSI



