Potensi Penipuan yang Bisa Terjadi Ketika Berangkat Umrah secara Mandiri
- account_circle Muhammad Fadli
- calendar_month Sen, 27 Okt 2025
- visibility 29

JAKARTA – Pemerintah kini membolehkan masyarakat Indonesia berangkat umrah melalui jalur mandiri, atau mengurus sendiri keberangkatan, pemesanan hotel, dan berbagai urusan lainnya tanpa melalui travel.
Namun, Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (Amphuri) menyoroti dampak negatif dari aturan Umrah Mandiri yang kini diatur secara legal di Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (PIHU).
Sekretaris Jenderal Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (Amphuri), Zaky Zakariya, mengungkapkan, legalisasi umrah mandiri bisa memicu dampak serius bagi jemaah jika tidak punya pengalaman dan pemahaman mendalam terkait urusan perjalanan ke Tanah Suci tersebut.
Secara konsep, umrah mandiri dipahami sebagai perjalanan ibadah yang dilakukan jamaah tanpa melalui Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) resmi.
Artinya, jamaah dapat mengatur sendiri perjalanan dan akomodasi mereka melalui platform daring atau agen internasional tanpa pendampingan lembaga resmi dari Indonesia.
Zaky menilai legalisasi umrah mandiri justru membuka peluang bagi korporasi dan platform global, seperti agen perjalanan online internasional, untuk menjual langsung paket umrah kepada masyarakat Indonesia tanpa melibatkan PPIU lokal.
Sehingga, ada kemungkinan, uang keluar akan semakin besar. Tidak lagi berputar di dalam negeri, menjadi gaji para karyawan travel, dan perputaran ekonomi di dalam negeri makin kecil.
Zaky menjelaskan, sektor haji dan umrah selama ini menyerap lebih dari 4,2 juta tenaga kerja, mulai dari pemandu ibadah, penyedia perlengkapan, hingga pelaku UMKM di berbagai daerah.
Selain itu, legalisasi umrah mandiri berpotensi menurunkan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dan mengurangi penerimaan pajak, karena nilai tambah ekonomi dari aktivitas perjalanan akan bergeser ke luar negeri.
Lebih jauh, Zaky menegaskan bahwa ibadah umrah tidak dapat disamakan dengan perjalanan wisata biasa. Umrah merupakan ibadah mahdhah yang membutuhkan bimbingan rohani dan nilai-nilai spiritual dalam pelaksanaannya.
“Jika peran lembaga keagamaan seperti pesantren, ormas Islam, dan PPIU diabaikan, maka nilai-nilai rohani yang selama ini menyertai perjalanan ibadah akan hilang. Umrah bisa berubah menjadi sekadar transaksi digital tanpa makna spiritual,” ujarnya.
Risiko Penipuan Terbuka
Menurutnya, konsep umrah mandiri memang tampak memberikan kebebasan bagi jamaah, namun sesungguhnya mengandung banyak risiko, baik dari sisi bimbingan manasik, perlindungan hukum, maupun pendampingan selama di Tanah Suci.
“Jika terjadi gagal berangkat, penipuan, atau musibah seperti kehilangan bagasi dan keterlambatan visa, tidak ada pihak yang dapat dimintai pertanggungjawaban,” kata Zaky.
Selain itu, jamaah juga berpotensi melanggar aturan di Arab Saudi karena minimnya pemahaman terhadap regulasi setempat, seperti batas waktu visa (overstay), larangan atribut politik, hingga aktivitas yang dianggap mengganggu ketertiban umum.
Belajar dari Pengalaman
Zaky mengingatkan bahwa sejarah mencatat banyak kasus penipuan dan kegagalan keberangkatan jamaah umrah di Indonesia.
“Tragedi besar pernah terjadi pada 2016 ketika lebih dari 120 ribu orang gagal berangkat. Dengan pengawasan ketat saja penipuan masih terjadi, apalagi bila praktik umrah mandiri dilegalkan,” pungkasnya.
- Penulis: Muhammad Fadli
- Editor: Fitriani Heli



