Subsidi Haji Makin Bengkak Bisa Menjadi Bom Waktu, Komnas Haji Ingatkan Keberlanjutan BPKH
- account_circle Muhammad Fadli
- calendar_month Jum, 19 Sep 2025
- visibility 19

Jemaah melaksanakan tawaf di Masjidilharam.(tazkiyahtour.co.id)
JAKARTA – Untuk bisa berangkat haji, jamaah haji tahun ini mendapat subsidi jumbo yang berkisar Rp33 juta hingga Rp37 juta per orang. Dengan terus meningkatnya subsidi tanpa melihat inflasi yang meningkat, nilai tukar rupiah terhadap dolar, pajak di Arab Saudi dan faktor lain, subsisi membengkak ini bisa menjadi masalah di kemudian hari.
Ironisnya, selain membayar subsidi jemaah yang berangkat, jutaan jamaah yang masih menunggu keberangkatan juga kebagian nilai manfaat Rp400 ribu hingga Rp600 ribu setahun, dari dana pengelolaan haji.
Ketua Komnas Haji dan Umrah, Mustolih Siradj, mengungkapkan, kondisi ini harus segera dikoreksi. Menurutnya, akar masalah ada pada aturan yang sudah usang.
“BPKH juga tidak bisa disalahkan. Nah saya sering, saya tidak mau mengkambinghitamkan BPKH, tapi ini adalah sistem yang harus diperbaiki,” kata Mustolih, Selasa (16/9/2025).
Solusi yang ditawarkan Mustolih cukup tegas: revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014. “Apa solusinya? Revisi undang-undang 34. Ya saya mendukung ini,” lanjut dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.
Ia menjelaskan, dana setoran awal haji reguler sebesar Rp25 juta dan untuk haji khusus 4.000 Dolar. Kini total dana yang dikelola Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) sudah mencapai Rp170 triliun. Menurut dia, dana pokok ini seharusnya tidak boleh disentuh. Akan tetapi pada kenyataannya, hasil pengelolaannya dibagi untuk subsidi jamaah yang berangkat dan nilai manfaat untuk jamaah tunggu.
Rata-rata, hasil pengelolaan 3–4 tahun terakhir mencapai Rp8–11 triliun per tahun. Masalahnya, subsidi bagi jamaah berangkat bisa sampai puluhan juta, ditambah jamaah tunggu yang juga kebagian ratusan ribu rupiah per orang.
Risiko dan Ketimpangan
Mustolih mengingatkan, tanpa batasan yang jelas, subsidi bisa jadi bom waktu. Pemerintah bersama DPR dinilai belum mau merevisi kebijakan subsidi tersebut –setidaknya memberi batasan, karena selalu mempertimbangkan aspek politis.
“Karena kalau misalnya keputusannya selalu politis, setiap tahun nih, setiap mau penyelenggaraan ibadah haji, itu akan berbahaya bagi keuangan. Sustainability daripada keberlanjutan daripada BPKH itu,” ujarnya.
Apalagi faktor eksternal seperti inflasi, depresiasi Rupiah terhadap Dolar, kenaikan harga avtur, hingga kebijakan pajak di Arab Saudi bisa terus menekan biaya haji ke depan.
Menurut Mustolih, ada wacana rasionalisasi beberapa tahun terakhir. Skema awal sempat diubah dari 70:30 (jamaah bayar 70%, subsidi 30%) menjadi 60:40, lalu 55:45. Namun, tren kembali ke subsidi besar.
“Kalau subsidinya itu dikurangi, maka biaya jamaah haji yang pelunasannya itu mahal. Tinggi dia. Di sisi lain ya, jamaah haji yang tunggu akan kecil,” jelasnya.
Sebagai solusi jangka panjang, Mustolih mengusulkan subsidi tidak disamaratakan. “Dipukul rata maksudnya apa? Yang mampu, yang tidak mampu, yang setengah mampu, itu sama. Nah harusnya untuk yang berangkat ini harus ada verifikasi nih,” katanya.
Ia mencontohkan Malaysia yang membagi subsidi menjadi tiga kategori: kecil bagi jamaah mampu, sedang bagi kelas menengah, dan besar bagi jamaah miskin. “Kalau garisnya itu runtuh, dia juga jatuh. Nah kira-kira seperti itu,” pungkasnya.
- Penulis: Muhammad Fadli
- Editor: Fitriani Heli