Cerita Jemaah Haji Jalur Furodah Bayar Rp945 Juta Nginap di Dormi yang Sesak dan Tenda yang Panas
- account_circle REDAKSI
- calendar_month Jum, 6 Jun 2025
- visibility 118

MAKASSAR – Bukannya mendapat fasilitas yang memuaskan, seorang jamaah haji yang pernah berangkat dengan jalur furodah pada tahun lalu menceritakan pengalamannya yang penuh cobaan.
Warga Indonesia, pemilik akun Catur Gunandi tersebut, menceritakan, dia awalnya memilih haji Furodah dan membayar mahal karena tidak mau berdesak-desakan dan ingin nyaman.
Namun, hasilnya jauh dari ekspektasi. Dia mengalami berbagai cobaan sejak di bandara, menginap di Madinah, hingga saat di Arafah. Berikut selengkapnya kisah Catur Gunandi yang diabadikan di media sosial:
Haji terakhir yang saya jalani, tahun lalu, menjadi perjalanan paling istimewa dalam hidup saya. Bukan karena kemewahan fasilitasnya, tapi justru karena semua rencana saya… gagal total.
Awalnya, saya memilih paket haji paling lengkap dan mahal. Bukan untuk pamer, tapi karena saya ingin menjalani ibadah ini dengan penuh kenyamanan dan ketenangan. Saya tak mau repot antre kamar mandi, berebut makan, atau tidur berhimpitan. Saya ingin fokus ibadah dengan kepala tenang dan badan nyaman. Maka saya pilih hotel bintang lima, penerbangan first class, kendaraan pribadi antar-jemput Makkah–Madinah—semuanya demi sebuah ibadah yang saya anggap “terbaik”.
Dalam hati saya, “Allah itu Maha Baik. Masa saya tidak boleh menikmati kebaikan-Nya lewat fasilitas yang memudahkan ibadah?”
Namun, Allah ternyata punya skenario yang lebih dalam dari sekadar “kenyamanan”.
Gagalnya Semua Rencana
Lima jam sebelum boarding, saya diberitahu bahwa nama saya dikeluarkan dari manifest penerbangan. Bagasi saya dikembalikan. Tidak ada alasan yang jelas. Saya diminta bersabar.
Travel mencoba mencarikan solusi. Saya akhirnya berangkat, tapi bukan dengan first class, dan harus transit lebih dulu di Riyadh. Hati saya masih mencoba tenang. “Mungkin ini ujian kecil,” pikir saya.
Sampai di Madinah, waktu sangat mepet. Saya hanya sempat mandi kilat, makan jeruk seadanya di lobi hotel, lalu langsung naik kereta cepat ke Makkah. Belum sempat rebahan, belum sempat buka koper. Tapi saya masih menenangkan diri. “Nanti di hotel Makkah pasti bisa istirahat.”
Ternyata tidak.
Di hotel Makkah, nama saya tidak ditemukan. Tidak ada kamar. Tidak ada catatan pemesanan. Saya akhirnya diarahkan ke sebuah dorm. Panas, penuh jamaah dari berbagai negara, koper berantakan, udara campur aduk. Saya duduk lemas, dengan satu pikiran yang terus mengiang:
“Ya Allah, ini bukan yang saya bayangkan.”
Titik Balik di Arafah
Saya datang dengan niat beribadah secara eksklusif, tapi Allah menempatkan saya dalam kondisi sebaliknya. Bukan di tempat istirahat yang mewah, tapi di tengah keramaian dan kekacauan kecil yang terus mengikis ekspektasi saya.
Puncaknya adalah di Arafah.
Tenda yang dijanjikan ber-AC dan tenang, ternyata panas dan ramai. Lebih mirip kamp mahasiswa daripada akomodasi premium. Saya hanya bisa tertawa kecil, karena mulai sadar:
Saya terlalu keras kepala. Terlalu yakin bisa mengatur semuanya. Saya pikir, ibadah bisa saya beli dengan harga.
Tapi Allah hanya butuh beberapa kejadian sederhana untuk menyadarkan:
Haji bukan tentang apa yang saya bayar, tapi tentang apa yang saya lepaskan.
Saya buka mushaf kecil, berharap mendapat ketenangan. Jari saya berhenti di Surat Al-Isra ayat 25:
“Tuhanmu lebih mengetahui apa yang ada dalam hatimu. Jika kamu orang yang baik, maka sungguh Dia Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertobat.”
Saya tak kuasa menahan tangis. Karena saya sadar, saya datang tidak sepenuhnya bersih. Ada ego. Ada keinginan untuk terlihat istimewa. Ada niat yang ingin ibadah—tapi tetap dimanjakan dunia.
Dan Allah tahu itu. Bahkan sebelum saya sendiri menyadarinya.
Qurban yang Sebenarnya
Kini menjelang Idul Adha, saya kembali menyiapkan qurban seperti tahun-tahun sebelumnya. Tapi kali ini dengan pemahaman yang jauh lebih dalam.
Qurban bukan sekadar tentang sapi atau kambing. Qurban paling berat justru adalah menyembelih ego. Rasa ingin dianggap. Ingin tampil lebih. Ingin ibadah tapi tetap nyaman.
Kalau dulu Allah mengoreksi niat saya saat berhaji, maka sekarang giliran saya menjaga niat saat berqurban. Sebab qurban yang diterima bukanlah darah dan dagingnya, tapi ketulusan dari hati yang rela disembelih—diam-diam—hanya untuk-Nya.
- Penulis: REDAKSI



