Alasan UU Pengelolaan Haji Perlu Direvisi, BPKH Butuh Dana Cadangan untuk Memitigasi Risiko
- account_circle REDAKSI
- calendar_month Sel, 1 Jul 2025
- visibility 61

Jemaah haji/umrah bersama petugas haji
JAKARTA – Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) Republik Indonesia (RI) kembali mengaskan perlunya merevisi Undang-undang Pengelolaan Dana Haji. Melalui akun resminya, BPKH RI menyampaikan tiga poin penting tujuan revisi tersebut.
“BPKH mengusulkan revisi UU No. 34 Tahun 2014 agar pengelolaan dana haji semakin optimal, adaptif, dan mampu memberikan nilai manfaat lebih besar bagi jemaah dan umat,” tulis BPKH RI.
Setidaknya, ada 3 tujuan mengapa revisi diperlukan, antara lain: Memperkuat kelembagaan BPKH, Memperluas ruang investasi syariah serta Meningkatkan keamanan dan efisiensi layanan haji.
“Demi menciptakan pelayanan haji yang lebih baik dan pengelolaan keuangan haji yang amanah dan berkelanjutan,” jelasnya lagi.
Perlu Dana Cadangan
Salah satu persoalan penting yang dihadapi BPKH saat ini, adalah risiko rugi akibat tidak adanya dana cadangan. BPKH selama ini berjalan berdasarkan Undang-Undang No. 34/2014, yang mengatur bahwa BPKH didirikan tanpa modal awal, saham, ekuitas, atau cadangan kerugian dari laba bersih.
Ini berbeda dengan aturan pada perseroan terbatas yang wajib menyisihkan 20% laba untuk cadangan.
Anggota Badan Pelaksana Bidang Investasi Surat Berharga dan Emas BPKH Indra Gunawan mengungkapkan bahwa revisi diperlukan dengan harapan BPKH dapat mengalokasikan dana cadangan.
Ia memberi contoh dari Dana Abadi Umat atau DAU (sisa biaya operasional penyelenggaraan ibadah haji, dan sumber lain yang halal dan tidak mengikat yang dikelola BPKH), yang memiliki dana kelolaan mencapai Rp 3,86 triliun.
Sebagai bentuk keadilan bagi 5,5 juta calon jemaah yang masih dalam antrean, BPKH sedang mendorong inovasi rekening virtual. Sejak 2018, total penyaluran dana bagi jemaah yang masih menunggu itu mulai Rp800 miliar di 2018, hingga kini sudah terakumulasi hingga Rp18,3 triliun pada 2025.
“Saldo setoran awal jemaah yang semula Rp25 juta kini tumbuh menjadi sekitar Rp28 juta, membuktikan bahwa BPKH terus berupaya menghadirkan manfaat bagi seluruh calon haji, baik yang sudah berangkat maupun yang masih menunggu,” ujar Indra Gunawan.
Dengan tingkat pengembalian investasi dari 5,45% pada tahun 2018 menjadi 6,9% pada akhir 2024 lalu, BPKH telah memberikan kontribusi signifikan terhadap jemaah berangkat dan jemaah haji tunggu.
Adapun, Dana Abadi Umat (DAU) senilai Rp 3,86 triliun yang dapat dijadikan modal/ekuitas/saham yang dikelola BPKH dan hasil pengelolaannya digunakan untuk program kemaslahatan, seperti bantuan bencana, pendidikan, kesehatan, dan pengentasan kemiskinan.
“Hal ini menjadi menjadi bukti nyata bahwa pengelolaan keuangan syariah dapat memberikan manfaat luas bagi umat dan negara,” tambahnya.
Dalam menghadapi kenaikan biaya haji akibat inflasi dan fluktuasi kurs, BPKH juga berupaya meringankan beban jemaah. Pada 2022, BPKH menanggung 59% Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH), setara dengan Rp57,7 juta per jemaah.
Kemudian pada 2024, kontribusi BPKH mencapai 40% (Rp37,3 juta) dari total BPIH sebesar Rp93,4 juta, dan pada 2025, BPKH masih menanggung 38% (Rp33,8 juta) dari total BPIH Rp89,4 juta.
Secara terpisah, Kepala Badan Pelaksana BPKH Fadlul Imansyah mengatakan agar dapat terus menjaga keberlanjutan manfaat bagi umat. Menurutnya, dukungan terhadap revisi Undang-Undang Keuangan Haji sangat krusial.
“Dengan penguatan regulasi, BPKH dapat memastikan pengelolaan dana haji yang lebih aman, adil, dan berkelanjutan bagi seluruh umat Islam di Indonesia,” tandasnya, dikutip dari detikcom.
- Penulis: REDAKSI



