BP Haji dan BPKH Punya Potensi Berbahaya, Dewan Syariah Nasional: Kemenag dan DPR Perlu Tetap Mengontrol
- account_circle REDAKSI
- calendar_month Rab, 30 Jul 2025
- visibility 265

Adiwarman Karim, anggota Dewan Syariah Nasional MUI
JAKARTA — Pengawasan yang ketat terhadap Badan Pengelola Haji (BPH) dan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) tetap perlu dilakukan. Dua lembaga itu, setelah resmi menjadi pengendali pelaksanaan haji di Indonesia, yang merupakan pemegang kuota terbesar Haji di dunia, punya potensi berbahaya. Jika tidak diawasi.
Dalam seminar bertajuk “Menjaga dan Memperkuat Tata Kelola Perhajian di Indonesia” yang tayang di YouTube pada 29 Juli 2025, Adiwarman Karim, anggota Dewan Syariah Nasional MUI sekaligus akademisi ekonomi syariah, menekankan pentingnya tata kelola yang bebas konflik kepentingan serta efisien dalam pengelolaan dana dan layanan haji.
Adiwarman mengingatkan bahwa dalam teori ekonomi, posisi penyelenggara haji dalam hal ini BPH, berada dalam posisi ‘monopoli’. Alias sebagai penjual besar di dalam negeri, dan pembeli besar di luar negeri (Arab Saudi).
Sebagai monopoli negara, tugas utamanya bukan mencari keuntungan, melainkan mencapai efisiensi. Ini berarti memberikan layanan lebih baik dengan biaya yang sama, atau bahkan menurunkan biaya tanpa mengurangi kualitas layanan.
“Kalau BPH itu menguasai pasar dan BPKH menguasai kekuatan uang, maka bila keduanya tidak dikontrol, itu berbahaya. Karena yang satu punya kuasa, yang satu punya dana besar. Maka perlu pengawasan dari DPR dan Kementerian Agama agar semuanya berjalan efisien dan sesuai prinsip syariah,” tegas Adiwarman.
Lima Dimensi Efisiensi
Ia menekankan, seharusnya seharusnya dengan hadirnya BPH dan BPKH, efisiensi biaya haji bisa ditingkatkan. Lima dimensi utama dalam penyelenggaraan haji yang perlu terus diupayakan efisiensinya, antara lain Kesehatan jemaah, Transportasi, Akomodasi, Katering hingga Bimbingan manasik.
Menurutnya, contoh ketidakefisienan terlihat dari praktik penyewaan pesawat yang dilakukan bolak-balik dengan beberapa penerbangan kosong. Hal ini menunjukkan lemahnya perencanaan yang bisa membebani biaya tanpa memberikan nilai tambah pada layanan.
“Beberapa contoh tadi, disebutkan oleh Prof Muhajir tentang bagaimana efisiensi yang dilakukan. Kita sebagai orang luar yang ngelihat data tipis-tipis agak gemes tuh. Ngapain ente bayar pesawat empat kali bulak-balik kosongan dua kali. Tapi itu kita enggak bahas lebih lanjut lagi,” ungkapnya.
Adiwarman juga menekankan bahwa Indonesia memiliki posisi tawar tinggi sebagai pembeli terbesar layanan haji di Arab Saudi.
Posisi ini seharusnya bisa dimanfaatkan untuk menegosiasikan standar layanan, baik dengan pemerintah Saudi (terkait visa dan pelaksanaan manasik) maupun dengan sektor swasta seperti perusahaan penyedia layanan (syarikah).
“Standar layanan syarikah harus bisa kita atur, jangan sampai kita cuma menerima saja tanpa bisa mempengaruhi kualitas,” katanya.
Inovasi Dana Dam untuk Ekonomi Umat
Dalam sesi penutup, Adiwarman juga mengusulkan inovasi terkait pelaksanaan dam (denda atas pelanggaran manasik haji). Ia mengusulkan agar dana dam dibayarkan sejak pendaftaran haji dan dikelola oleh Baznas, sehingga dana tersebut dapat dikumpulkan dan dimanfaatkan untuk pembangunan fasilitas permanen seperti rumah pemotongan hewan di Saudi.
Menurut dia, dana Dam bisa menjadi potensi ekonomi baru yang bermanfaat jangka panjang bagi umat.
“Kalau dam ini dikelola serius selama 20-25 tahun, bisa menjadi sumber kekuatan ekonomi syariah yang luar biasa,” ujarnya.
Pentingnya Tata Kelola Syariah dan Transparansi
Adiwarman menyimpulkan bahwa tata kelola haji harus berpijak pada prinsip syariah governance yang menekankan akuntabilitas, efisiensi, dan penghindaran konflik kepentingan. Untuk itu, peran pengawasan dari DPR dan Kementerian Agama menjadi kunci agar BPH dan BPKH dapat berjalan sesuai fungsi masing-masing dan menjaga amanah dana umat.
Seminar ini menjadi pengingat pentingnya menjaga integritas dan profesionalisme dalam penyelenggaraan ibadah haji, agar tidak hanya sah secara ritual, tetapi juga adil dan maslahat secara sosial dan ekonomi.
- Penulis: REDAKSI



