Beberapa Pasal Terkait Umrah Mandiri Masih Rancuh, Ketum HIMPUH Ingatkan Risikonya
- account_circle Muhammad Fadli
- calendar_month Rab, 29 Okt 2025
- visibility 24

Ketua Umum Himpunan Penyelenggara Umrah dan Haji (HIMPUH), HM Firman Taufik
JAKARTA — Ketua Umum Himpunan Penyelenggara Umrah dan Haji (HIMPUH), HM Firman Taufik, mengingatkan pemerintah dan masyarakat untuk menelaah dengan baik pasal-pasal terkait Umrah Mandiri sebagaimana yang diatur dalam undang-undang terbaru.
Yakni, UU Nomor 14 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, atau selanjutnya disebut sebagai UU PIHU.
Undang-Undang terbaru itu membuka peluang pelaksanaan umrah secara mandiri. Firman pun menilai, beberapa pasal terkait kebijakan tersebut masih rancu dan berisiko baik bagi jemaah maupun negara.
Menurut Firman, penyelenggara resmi umrah seperti HIMPUH pada prinsipnya bersikap adaptif terhadap setiap perubahan regulasi. Namun, ia menegaskan pentingnya kewaspadaan terhadap ‘kekosongan hukum’ yang muncul akibat belum adanya aturan turunan dari undang-undang baru tersebut.
“Kami selaku pelaksana regulasi melihat ini sebagai blessing, tapi sekaligus harus hati-hati dengan kekosongan hukum. Belum ada aturan turunan, bentuknya masih undang-undang, sehingga rentan dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab,” ujar Firman.
Ia mencontohkan, tanpa pengawasan dan regulasi jelas, ajakan ‘umrah bareng’ yang marak di media sosial bisa menjadi modus penipuan.
HIMPUH, kata Firman, justru tidak merasa “lahannya terganggu” dengan adanya opsi umrah mandiri. Sebaliknya, yang seharusnya lebih waswas adalah pemerintah.
“Kami pelaksana regulasi. Pemerintah yang harusnya lebih waswas, bukan kami,” tegasnya.
Rentan Penipuan dan Minim Pembimbingan
Firman menyoroti bahwa dalam konsep umrah mandiri, tidak ada keharusan pembimbingan ibadah sebagaimana diatur dalam Pasal 88 huruf b Undang-Undang terbaru tersebut.
“Kalau ini menjadi pilihan ibadah umrah, maka risikonya besar. Minim pembinaan dan pembimbingan ibadah, jemaah akan rentan terhadap penipuan oleh oknum,” katanya.
Selain itu, Pasal 87 menyebut bahwa jemaah umrah mandiri harus memilih layanan melalui sistem informasi milik Kementerian Agama. Namun, Firman mempertanyakan kesiapan sistem tersebut.
“Sistem informasinya sudah adakah? Sepertinya belum,” ujarnya.
Jemaah Telantar Bisa Menjadi Beban Negara
Kekhawatiran semakin besar ketika melihat Pasal 96 dan 97, yang menyatakan bahwa seluruh risiko pelaku umrah mandiri, termasuk akomodasi, transportasi, konsumsi, kesehatan, bahkan keselamatan jiwa, sepenuhnya menjadi tanggung jawab pribadi.
“Di mana bentuk perlindungannya? Kalau terjadi masalah di Tanah Suci, mereka tidak punya kepastian pulang, akhirnya menjadi beban negara,” jelas Firman.
Ia menambahkan, bila hal itu terjadi secara masif, reputasi diplomatik Indonesia di mata Arab Saudi dan dunia bisa ikut tercoreng.
“Kalau jemaah bermasalah di Tanah Suci dan jadi beban negara, itu akan berakhir pada turunnya reputasi diplomatik Indonesia,” pungkasnya.
Firman menegaskan bahwa HIMPUH tidak menolak inovasi atau kebijakan baru. Namun, ia berharap pemerintah segera menyusun aturan turunan yang komprehensif agar pelaksanaan umrah mandiri tidak menimbulkan persoalan baru.
- Penulis: Muhammad Fadli
- Editor: Fitriani Heli



